TIMES MATARAM, MALANG – Himpunan Mahasiswa Departemen (HMD) Sastra Indonesia menggelar Pentas Kita (Pentas Kolaborasi Sastra Indonesia) di Gedung D14, Aula AVA, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, Sabtu (10/5/2025).
Pentas Kita yang menghadirkan tema 'Merayakan Kreativitas dan Kebebasan dalam Seni' kali ini menyuguhkan kolaborasi apik Gita Lenggang Tari, Griya Sastra Puisi dan Teater Pelangi.
Kolaborator tersebut merupakan bagian dari Lembaga Semi Otonom (LSO) di bawah naungan HMD Sastra Indonesia. Pementasan ini dipersembahkan untuk NAVASTRA, Fakultas Sastra UM.
Penampilan Gita Lenggang Tari Inspirasi Diri (FOTO: HMD Sastra Indonesia UM for TIMES Indonesia)
Menghadirkan pertunjukan tari, puisi dan teater, Pentas Kita bertujuan menghidupkan kembali dinamika kehidupan perkuliahan. Dimulai dari langkah pertama seorang mahasiswa baru yang penuh harap, kelelahan dan kebimbangan di tengah jalan, hingga puncak perjalanan saat mimpi akhirnya terwujud.
Acara ini dibuka dengan persembahan cuplikan video singkat perjalanan kuliah teman-teman Fakultas Sastra. Hal itu membuat penonton larut di dalam kenangan akan kehidupan perkuliahan.
Penampilan pertama disambut dengan pementasan dari Teater Pelangi yang bertajuk 'Karamnya Irama Laot Teduh' yang merupakan alih wahana dari lagu Sal Priadi berjudul 'Irama Laot Teduh'.
Galuh Berliant selaku sutradara memiliki interpretasi yang sedikit bertentangan dengan lagu tersebut. Ia menggambarkan pementasan sebagai kehidupan pernikahan yang tidak sederhana serta penuh berbagai rintangan. Pementasan tersebut turut menyoroti kesiapan mental dalam menghadapi dunia pernikahan.
Di pertengahan pentas terdapat lantunan tembang 'Durmo' yang menggambarkan perpisahan dengan nuansa sedih, sehingga sutradara mencocokkan parikan agar sesuai pementasan. Gelaran ini turut menyoroti konteks sosial yang menyinggung fenomena pernikahan dini dan perceraian yang marak terjadi.
Menurut Galuh, lagu 'Irama Laot Teduh' adalah lagu paling romantis. Saking romantisnya, ia takut jika dalam perjalanan hidup, ia gagal menemuinya.
"Pernikahan tidak cukup dengan kata 'hanya' namun 'harus punya'. Lagu Sal Priadi banyak ditampilkan dalam pentas ini, tapi romantisasi hal tersebut dipatahkan dengan beberapa scene yang menjawab lagu itu," ujar penggemar Sal Priadi itu.
Tokoh yang terlibat dalam pementasan adalah Gio, Vany, dan para ombak. Laut menjadi makna kehidupan, kapal sebagai pernikahan dan para ombak konotasi dari hingar-bingar kehidupan. Sementara, Gio dan Vany merupakan perwujudan dari Irama Laot Teduh itu sendiri.
Penampilan Musikalisasi Puisi oleh Griya Sastra Puisi (FOTO: HMD Sastra Indonesia UM for TIMES Indonesia)
Selanjutnya, ada penampilan kedua dari Gita Lenggang Tari yang menampilkan tarian kontemporer ceria dan penuh energi. Membawakan lagu 'Inspirasi Diri' dari Iforte, Gita Lenggang Tari berhasil menyuguhkan keseruan mahasiswa baru ketika menjalani PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru).
Koreografi tari ini juga mengangkat keberagaman budaya nusantara sebagai refleksi keragaman ras dan suku di UM. Di akhir penampilan, penari mengenakan properti buku dan paper mob sebagai kenangan dari PKKMB. Tak luput jas almamater UM turut dikenakan sebagai simbol kebanggaan dan identitas kampus.
Penutupan Pentas Kita diakhiri dengan meriah oleh Griya Sastra Puisi (Grisas) yang membawakan musikalisasi puisi dengan iringan band. Penampilan Grisas banyak mencerminkan kehidupan setelah lulus kuliah yang merujuk pada quarter life crisis.
Beberapa lagu yang dibawakan seperti Gazelle (Noam Chomsky’s Unanswered Question), Aku Ingin, Asmaraloka, Dapur nkk/bkk mengangkat berbagai isu seperti idealisme, percintaan dan passion yang dikemas dalam musikalisasi puisi. Azarya Pratama mengungkap isu sosial yang marak terjadi melalui bait-bait puisi yang kritis dan satir.
Dalam puisinya, Grisas turut serta mengangkat konflik yang terjadi di Malang seperti menuju 1000 hari Tragedi Kanjuruhan dan demo UU TNI. Hal itu menegaskan pentingnya refleksi dan sikap kritis dalam menghadapi realitas kehidupan setelah masa studi.
"Meskipun sudah tidak menjadi mahasiswa, manusia harus tetap kritis dengan kondisi sosial dan kondisi diri sendiri. Fakta mengenai isu-isu sosial akan tetap terjadi dan dihadapi ketika kita tidak menjadi mahasiswa lagi," ungkap Azarya yang lebih dikenal dengan nama panggung Studio Rima itu.
Pentas Kita menjadi wadah ekspresi seni yang merayakan kebebasan berkreativitas sekaligus mengajak penonton untuk merenungkan berbagai isu sosial melalui seni teater, tari, dan puisi yang saling melengkapi dalam satu panggung. Acara ini sukses menghadirkan pengalaman seni yang kaya dan beragam. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: HMD Sastra Indonesia UM Suguhkan Ruang Perayaan Kebebasan Ekspresi Melalui 'Pentas Kita'
Pewarta | : Zakiyya Salmaa Azzahra (Magang MBKM) |
Editor | : Ronny Wicaksono |