TIMES MATARAM, JAKARTA – Di kaki Gunung Batur yang berselimut kabut pagi, dengan udara pegunungan yang membelai dingin, seorang pria bernama Kurniawan Saputro berdiri dalam diam. Tak banyak kata, hanya tatapan tajam ke arah jalur panjang yang siap menantangnya.
Hari itu, Bali Timur bukan sekadar pulau eksotis, tapi medan ujian bagi ratusan pelari dari berbagai penjuru dunia. Termasuk Kurniawan—jurnalis dan pelari dari TIMES Indonesia—yang bersiap menaklukkan lintasan ekstrem ajang 30K BTR Ultra 2025.
Start dimulai dari Batur Natural Hot Spring, tempat wisata yang kini bertransformasi menjadi garis awal sebuah perjalanan luar biasa. Bukan hanya menempuh jarak puluhan kilometer, para pelari juga diajak menyelami sisi paling sunyi dari diri mereka sendiri.
Jalur menanjak membawa mereka ke Desa Pasar Agung, perkebunan hijau yang menyegarkan mata, hingga memasuki kawasan Sarongga—sebuah nama yang menggema di telinga para pecinta trail running.
Namun, tantangan sejati baru dimulai ketika kaki mereka menyentuh jalur Teletubies. Sebuah medan yang dikenal karena lanskap vulkaniknya yang eksotis sekaligus menantang. Bagi Kurniawan, momen ini menjadi titik awal perjalanan batin yang tak akan terlupa.
Kurniawan Pelari dari TIMES Indonesia—yang bersiap menaklukkan lintasan ekstrem ajang 30K BTR ULTRA 2025. (Foto: BTR 2025/TIMES Indonesia)
“Saya benar-benar terpesona ketika melihat keagungan Gunung Batur di hadapan mata. Dengan hiking speed, saya terus bergerak menuju puncak,” tuturnya, Selasa (13/5/2025).
Puncak Gunung Batur menghadirkan hadiah tak ternilai—pemandangan Gunung Agung dan Gunung Abang berdiri megah di kejauhan, seakan menyapa setiap pelari dengan kebesaran alam.
Di sanalah, di ketinggian, lahir kehangatan tak terduga. Para pelari dari 61 negara berbagi senyum, sapaan, dan pisang—sumber energi sederhana di Water Station pertama yang terasa seperti oase di padang perjuangan.
Black Lava: Ujian Fisik dan Mental
Tantangan berikutnya hadir dalam wujud yang hitam dan keras: Black Lava. Trek sejauh 10 kilometer ini bukan untuk mereka yang setengah hati. Batu vulkanik tajam berpadu dengan tanjakan curam menguji ketangguhan mental setiap pelari. Langkah demi langkah Kurniawan makin berat. Kram mulai menghampiri, stamina menipis, namun tekadnya masih menyala.
“Kaki mulai kram, tenaga mulai menipis, tapi semangat tidak boleh padam,” katanya, menahan perih.
Di Check Point 1, yang juga menjadi Water Station ketiga, jam menunjukkan lima jam telah berlalu. Ia masih dalam jalur waktu yang aman—prestasi yang terasa lebih hebat mengingat cedera ankle yang sempat menghantuinya hanya lima hari sebelum lomba.
Waktu terus bergulir, medan makin berat, dan tubuhnya tak lagi sekuat saat start. Namun di setiap detik, semangatnya tak goyah. Tujuh jam dua puluh delapan menit berlalu sejak garis start, dan akhirnya—ia menuntaskan lomba.
“Jauh dari target pribadi, memang. Tapi saya bangga bisa menyelesaikannya dengan strong finish,” ucap Kurniawan dengan senyum kelegaan. “Ini pengalaman luar biasa, terutama karena bisa bertemu pelari dari sekitar 61 negara. Untuk kategori 30K sendiri, hampir 1.000 peserta ikut ambil bagian.”
Lari yang Mengubah Cara Pandang
BTR Ultra 2025 bukan sekadar kompetisi. Ia adalah panggung tempat manusia diuji oleh alam, dan sebaliknya—tempat alam menunjukkan bahwa ia tak pernah bisa ditaklukkan, hanya bisa dihormati. Kurniawan Saputro tak hanya menjejakkan kaki di batu dan tanah. Ia menulis makna di setiap langkah: tentang ketekunan, semangat, dan dialog abadi antara manusia dan semesta.
Di tengah gemuruh napas dan derap kaki, di antara lava hitam dan peluh yang menetes, ia menemukan sesuatu yang tak ada di garis finish—sebuah pemahaman bahwa lari bisa menjadi bentuk doa. Dan bahwa gunung, bisa menjadi tempat paling sunyi untuk mendengar suara hati sendiri.(*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: 7 Jam di BTR Ultra 2025, Taklukkan Medan Ekstrem Gunung Batur
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Imadudin Muhammad |