TIMES MATARAM, MATARAM – Penolakan terhadap pelaksanaan Musyawarah Wilayah (Muswil) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mencuat dari sejumlah Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC).
Mereka menilai Muswil yang digelar baru-baru ini tidak memiliki dasar hukum yang jelas, bertentangan dengan aturan organisasi, serta berpotensi memicu konflik baru di internal partai berlambang Ka’bah tersebut.
Salah satu penolakan tegas disampaikan Ketua DPC PPP Lombok Utara, Narsudin. Ia menegaskan tidak ada alasan bagi jajaran DPC untuk menghadiri Muswil yang dinilainya ilegal dan tidak memiliki legitimasi organisasi.
Menurut Narsudin, kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP saat ini belum tuntas sehingga tidak memiliki kewenangan untuk menggelar Muswil di tingkat wilayah.
Kondisi tersebut, kata dia, justru menunjukkan adanya kejanggalan dalam proses pengambilan keputusan di internal partai.
“Bagaimana mau Muswil, sementara pengurus DPP saja masih enam orang dan belum menyusun kepengurusan secara lengkap. Seharusnya Pak Mardiono menyelesaikan dulu kepengurusan DPP, baru mengurus ke bawah. DPP saja belum clear, kok sudah memaksakan diri mengurus wilayah, kan ada apa ini,” tegas Narsudin, dalam keterangannya, Kamis (25/12/2025).
Nada serupa disampaikan Ketua DPC PPP Sumbawa Barat, Amirudin. Ia menegaskan pada prinsipnya tidak menolak Muswil, selama pelaksanaannya sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) hasil Muktamar X serta tidak menimbulkan gejolak di internal partai.
“Kalau Muswil dilaksanakan sesuai AD/ART dan tidak menimbulkan konflik ke depan, tentu kami hadir. Tapi ini justru tidak jelas dan tidak punya dasar hukum. Mereka malah menciptakan kegaduhan baru di daerah yang sebelumnya sudah kondusif pasca islah di depan Menkumham,” papar Amirudin.
Penolakan juga datang dari Ketua DPC PPP Kota Bima, Syafriansar. Ia mempertanyakan keabsahan Muswil yang hanya ditandatangani oleh Ketua Umum PPP tanpa disertai tanda tangan Sekretaris Jenderal (Sekjen).
Menurut Syafriansar, hal tersebut bertentangan dengan mekanisme organisasi dan aturan perundang-undangan partai politik.
“Muswil ini ilegal karena hanya ditandatangani Ketua Umum tanpa Sekjen. Apakah itu sah secara aturan organisasi? Di partai mana pun, jika memerintahkan kegiatan penting, harus ditandatangani secara lengkap, bukan sebelah-sebelah,” ungkap Syafriansar.
Ia menambahkan, pasca islah setelah Muktamar, seharusnya DPP PPP terlebih dahulu menuntaskan kepengurusan secara menyeluruh, termasuk pembentukan majelis-majelis dan Mahkamah Partai.
Langkah tersebut dinilai penting agar partai memiliki mekanisme penyelesaian konflik yang jelas sebelum mengambil keputusan strategis di daerah.
“Kalau nanti terjadi perselisihan internal, siapa yang menyelesaikan? Pengurus DPP saja masih enam orang. Itu sebabnya Muswil ini kami nilai ilegal dan tidak sah, apalagi tanpa tanda tangan Sekjen,” tandasnya.
Syafriansar juga menilai kegaduhan yang muncul saat ini justru bersumber dari pemaksaan kehendak segelintir pihak di internal partai.
Ia menegaskan, jika benar ingin menciptakan perdamaian dan soliditas partai, maka seluruh kebijakan harus dikeluarkan sesuai aturan dan mekanisme organisasi.
“Jadi sebenarnya yang membuat gaduh partai ini siapa, memaksakan kehendak untuk kepentingan pribadi. Kalau mau damai, silakan keluarkan instruksi sesuai dengan aturan dan mekanisme organisasi. Jangan menambah kegaduhan hingga ke akar rumput,” tegasnya.
Situasi ini menunjukkan dinamika internal PPP di NTB masih belum sepenuhnya kondusif. Sejumlah Ketua DPC berharap DPP PPP segera menuntaskan kepengurusan secara sah dan komprehensif agar roda organisasi dapat berjalan sesuai aturan, sekaligus mencegah konflik berkepanjangan menjelang agenda-agenda politik ke depan.(*)
| Pewarta | : Anugrah Dany Septono |
| Editor | : Hendarmono Al Sidarto |