TIMES MATARAM, MATARAM – Dalam era media sosial, kuasa netizen menjadi kekuatan baru yang mampu membentuk, mengubah, atau bahkan menghancurkan reputasi seseorang hanya dalam hitungan jam. Kasus terbaru yang menimpa Miftah Maulana, seorang dai kondang di Indonesia, adalah contoh nyata bagaimana netizen dapat memengaruhi opini publik secara besar-besaran. Komentar Miftah tentang seorang penjual es teh dengan kata "gob**k" memicu respons luas, baik pro maupun kontra.
Dalam satu dekade terakhir, media sosial seakan telah mengubah cara kita berkomunikasi, berbagi informasi, dan memengaruhi keputusan bersama. Istilah "netizen," yang merujuk pada warga dunia maya, kini menjadi representasi dari massa baru dengan kekuatan tak terbayangkan sebelumnya.
Dalam platform media sosial popular seperti Twitter, Facebook, Instagram, dan TikTok, netizen dapat memengaruhi opini publik, membentuk narasi besar, hingga mendesak perubahan kebijakan dalam waktu yang relatif singkat. Fenomena ini merevolusi paradigma kekuatan massa yang sebelumnya terpusat pada media tradisional.
Sebelum era media sosial, opini publik cenderung dikendalikan oleh kelompok elit melalui media massa. Surat kabar, televisi, dan radio menjadi saluran utama informasi. Namun, kehadiran media sosial membawa perubahan signifikan. Hal itu setidaknya dapat dilihat dari tiga parameter, yaitu:
Pertama, Demokratisasi Informasi. Setiap individu dengan koneksi internet kini dapat menjadi produsen informasi. Jurnalisme warga, yang didukung oleh video amatir atau cuitan singkat, sering kali mengungkap fakta yang tidak tersentuh oleh media arus utama.
Contohnya adalah kasus George Floyd di Amerika Serikat pada 2020 silam. Video pendek yang direkam oleh seorang saksi mata dan diunggah ke media sosial memicu gerakan global Black Lives Matter, menunjukkan bagaimana satu unggahan bisa memengaruhi opini warga masyarakat dunia.
Kalau di Indonesia Gerakan #SaveKPK pada medio 2019, revisi UU KPK di Indonesia memicu gelombang kritik dari masyarakat yang menganggapnya sebagai upaya melemahkan lembaga antirasuah. Tagar #SaveKPK menjadi simbol perlawanan digital, menyatukan berbagai kelompok masyarakat untuk menolak revisi tersebut. Meskipun tidak berhasil membatalkan undang-undang, gerakan ini menunjukkan kekuatan solidaritas netizen dalam menyuarakan ketidakpuasan.
Kedua, Efek Viral dan Narasi Kolektif. Media sosial memungkinkan informasi menyebar dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Narasi yang menarik perhatian sering kali menjadi viral, bahkan dengan cepat membentuk opini publik secara instan. Dalam banyak kasus, kekuatan viral ini dapat mendesak pemerintah atau korporasi untuk bertindak cepat.
Dalam konteks global, Gerakan #MeToo barangkali bisa dijadikan contoh, yang dimulai dari satu cuitan, menjadi gelombang global yang mengungkap kasus pelecehan seksual, mengguncang tokoh-tokoh besar di berbagai industri. Di Indonesia, beberapa waktu lalu bahkan pernah muncul istilah “kebijakan berbasis viral”. Di X/Twitter pun muncul anggapan, “Kalau tidak ‘ramai’ dan viral, maka pemerintah tidak akan mengambil Tindakan.
Ketiga, Kekuatan Komunitas Virtual. Netizen tidak hanya individu, tetapi juga bagian dari komunitas besar yang memiliki kepentingan dan tujuan bersama. Komunitas ini sering menggunakan kekuatan kolektif mereka untuk mengadvokasi isu tertentu atau melawan ketidakadilan.
Tantangan dari Kuasa Netizen
Meskipun memiliki potensi positif, kuasa netizen juga menghadirkan sejumlah tantangan yang tidak terelakkan. Dengan sumber informasi yang tidak bisa disaring karena terlalu massif akan terjadi misinformasi dan disinformasi. Dalam ekosistem yang terbuka, informasi palsu dapat menyebar dengan cepat. Contoh paling konkrit adalah penyebaran hoaks tentang COVID-19 yang menghambat upaya penanganan pandemi di berbagai negara termasuk di Indonesia.
Selain itu, kuasa netizen dengan the power of viralisme seringkali menimbulkan apa yang disebut sebagai Trial by Social Media. Kekuasaan netizen sering kali menjadi pisau bermata dua, seperti dalam kasus peradilan media sosial (trial by social media). Banyak individu yang telah dihukum secara sosial tanpa bukti kuat atau proses hukum yang adil.
Misalnya dalam kasus Miftah Maulana ini, pendukung Miftah termasuk yang ikut tertawa mendengar komentarnya saat kajian tentu saja tidak mempermasalahkan dengan alasan bahwa kritiknya sesuai dengan konteks kesalahan yang dilakukan penjual es teh.
Juga barangkali benar bahwa komentar itu hanya untuk “guyon” sebagaimana telah diakui sendiri oleh pria yang akrab dipanggil Gus Miftah. Akan tetapi netizen sudah terlanjur menganggap penggunaan kata "goblok" tidak mencerminkan akhlak seorang dai yang seharusnya berdakwah dengan lemah lembut.
Ada juga dampak negatif lainnya yaitu polarisasi dan Echo Chambers Media sosial cenderung memperkuat polarisasi dengan membentuk echo chambers, di mana individu hanya terpapar pada opini yang sejalan dengan pandangan mereka. Ini dapat menghambat dialog konstruktif dan menciptakan perpecahan.
Faktor Pendorong Kuasa Netizen dalam Kasus Miftah Maulana
Viralnya kasus Miftah di penghujung tahun 2024 ini sesungguhnya tidak telepas dari kuasa netizan sebagaimana telah dipaparkan di atas. Ketersediaan Platform Media sosial memberikan ruang bagi siapa saja untuk menyuarakan pendapat, menjadikan setiap orang “wartawan” sekaligus “juri.” Miftah menjadi sasaran karena media sosial memungkinkan kritik disampaikan secara langsung dan masif.
Pada saat yang sama, cepatnya Penyebaran Informasi di era media sosial sekarang ini semakin mendorong cepatnya suatu kasus menyebar. Algoritma platform seperti TikTok dan Twitter mempercepat penyebaran konten viral. Dalam kasus ini, cuplikan video komentar Miftah diunggah ulang ribuan kali, memperluas jangkauan kritik terhadapnya.
Di samping itu, ekspektasi yang tinggi terhadap public figure menjadikan kasus ini cepat sekali mencuat. Sebagai seorang dai terkenal, Miftah dianggap memiliki tanggung jawab moral yang lebih besar terlebih beberapa waktu lalu Miftah baru saja dilantik oleh Presiden RI Prabowo Subianto sebagai salah satu utusan presiden untuk pembinaan keagamaan. Netizen sering kali menuntut standar etika yang lebih tinggi dari seorang figur publik, sehingga setiap perkataan atau tindakannya diawasi dengan ketat.
Pelajaran dari Kasus Miftah Maulana
Viralnya Miftah yang seakan menjadi common enemy netizen dalam beberapa hari ini tentu adalah pelajaran yang sangat berharga baik bagi pribadi Miftah sendiri, maupun bagi para tokoh sebagai public pigure. Meski telah datang dan meminta maaf secara langsung, Miftah dengan penuh penyesalan dan rasa tanggung jawab moral mengundurkan diri sebagai utusan khusus Presiden RI.
Ini tentu saja adalah sebuah kesempatan untuk melakukan refleksi (muhasabah) dan keputusan yang patut dihargai sebagai sebuah pilihan para gentleman. Setelah kasus ini viral, Miftah memberikan klarifikasi tentang maksud dan konteks ucapannya. Langkah ini penting untuk meredakan polemik dan menunjukkan bahwa transparansi dapat mengurangi dampak negatif dari kuasa netizen.
Kasus ini juga mengingatkan tentang pentingnya etika komunikasi di ruang publik, bahwa figur publik harus berhati-hati dalam memilih kata, terutama di era di mana segala sesuatu dapat direkam dan disebarkan secara luas. Dakwah yang efektif membutuhkan pendekatan yang sesuai dengan prinsip hikmah dan mauidzah hasanah, sebagaimana diajarkan dalam Al-Quran dalam surat An-Nahl:125.
Tidak boleh dilupakan pula, kasus ini menunjukkan kuasa Netizen seakan bertindak sebagai "Penegak Moral" Baru. Kasus ini menunjukkan bahwa netizen kini berperan sebagai pengawas moral di ruang publik. Hanya saja meskipun sering kali kritis, pendekatan netizen tidak selalu seimbang, mengingat opini yang berkembang bisa sangat emosional dan tidak mempertimbangkan konteks penuh.
Kuasa netizen di era media sosial merevolusi opini publik, menggeser paradigma kekuasaan dari elit ke massa. Meskipun memiliki potensi besar untuk kebaikan, kekuatan ini harus dikelola dengan bijaksana untuk menghindari dampak negatif seperti misinformasi, polarisasi, dan peradilan sosial yang tidak adil. Dengan literasi digital dan regulasi yang tepat, kuasa netizen dapat menjadi alat transformasi yang efektif bagi masyarakat global.
Kasus Miftah Maulana adalah cerminan nyata dari kekuatan netizen di era media sosial. Netizen memiliki kuasa besar untuk membentuk opini publik, namun kekuatan ini sering kali tidak diimbangi dengan tanggung jawab.
Figur publik perlu lebih berhati-hati dalam berkomunikasi, sementara netizen juga perlu meningkatkan literasi digital dan etika bermedia sosial. Dengan memahami dinamika ini, diharapkan kuasa netizen dapat menjadi kekuatan positif yang mendorong perubahan konstruktif di masyarakat.
***
*) Oleh : Hurnawijaya, S.HI., M.Sy., Dosen Universitas Islam Negeri Mataram.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |