TIMES MATARAM, MATARAM – Pariwisata seharusnya menjadi panggung bersama, bukan ladang kekuasaan. Namun sayangnya, insiden pengusiran tamu dan pelaku wisata di Pantai Ekas oleh Bupati Lombok Timur belum lama ini menjadi contoh nyata bagaimana ego sektoral dan pendekatan kekuasaan masih mendominasi tata kelola destinasi wisata.
Tindakan pengusiran terhadap guide dan boatman lokal yang selama ini menjadi ujung tombak aktivitas wisata bahari jelas mencederai prinsip inklusivitas. Padahal, di tengah upaya memulihkan sektor pariwisata pascapandemi, yang dibutuhkan adalah kolaborasi dan solidaritas, bukan tindakan sepihak yang beraroma kekuasaan.
Kejadian ini tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga merusak citra pariwisata Lombok di mata wisatawan lokal maupun mancanegara. Di era digital saat ini, satu peristiwa negatif bisa dengan cepat menyebar dan membentuk persepsi global yang sulit diperbaiki dalam waktu singkat.
Mengapa Pentahelix Gagal Dijalankan?
Pendekatan pentahelix atau kolaborasi lima unsur utama pembangunan pariwisata (pemerintah, akademisi, pelaku usaha, komunitas, dan media) semestinya menjadi landasan berpikir dan bertindak dalam setiap kebijakan pariwisata daerah.
Bila prinsip ini dijalankan, maka setiap pengambilan keputusan akan melibatkan dialog, pertimbangan akademik, transparansi, dan kepentingan masyarakat lokal.
Sayangnya, pendekatan ini sering kali hanya menjadi jargon seremonial tanpa aktualisasi. Ketika pemerintah bertindak tanpa berkonsultasi dengan pelaku wisata dan masyarakat lokal, maka itu bukan lagi kolaborasi, tetapi dominasi.
Di sinilah terlihat kegagalan memahami esensi pentahelix: bahwa keberhasilan pariwisata tidak dapat dibangun oleh satu aktor saja. Ia memerlukan orkestrasi, bukan instruksi tunggal.
Politik Identitas dan Eksklusivitas Ruang Wisata
Tidak bisa dipungkiri, pariwisata seringkali menjadi alat politik di daerah. Ruang-ruang wisata dipolitisasi, dikuasai, bahkan dikapling atas dasar kepentingan pribadi atau kelompok. Hal ini mengarah pada eksklusivitas ruang, di mana hanya segelintir pihak yang boleh mengakses atau mengelola wilayah tertentu.
Kebijakan yang tidak adil akan menciptakan ketimpangan sosial dan konflik horizontal. Ketika pelaku wisata lokal disingkirkan dari ruang usahanya sendiri, maka yang terjadi bukan hanya kerugian ekonomi, tapi juga perpecahan sosial dan matinya semangat gotong royong yang menjadi ruh pembangunan desa wisata.
Kepercayaan Wisatawan Menurun
Pariwisata bukan hanya soal pemandangan, tetapi juga soal pengalaman dan rasa aman. Ketika wisatawan melihat konflik terbuka antara pemerintah dan pelaku wisata lokal, mereka akan merasa tidak nyaman dan cenderung memilih destinasi lain.
Lebih dari itu, investor pariwisata pun akan berpikir dua kali untuk menanamkan modal di wilayah yang tidak stabil secara kebijakan. Maka tak berlebihan bila kita katakan: tata kelola yang buruk hari ini, adalah kebangkrutan ekonomi esok hari.
Tata Ulang Tata Kelola
Pertama, Audit Kebijakan Wilayah Wisata. Semua wilayah pariwisata harus ditata ulang berdasarkan prinsip keadilan akses dan keterlibatan masyarakat lokal.
Kedua, Forum Dialog Permanen. Diperlukan ruang dialog reguler antara pemerintah, pelaku wisata, dan masyarakat agar konflik tidak diselesaikan secara reaktif.
Ketiga, Penguatan Kapasitas Pelaku Lokal. Guide, boatman, dan UMKM lokal harus didukung dengan pelatihan, izin usaha yang mudah, dan promosi terpadu.
Media dan Akademisi Harus Bersikap: Jangan hanya menjadi penonton. Media dan kampus harus aktif menyuarakan pentingnya tata kelola yang adil.
Jangan Jadikan Pariwisata Milik Segelintir Orang
Pariwisata adalah milik bersama, bukan milik kekuasaan. Jika dikelola dengan prinsip kolaboratif, ia bisa menjadi motor penggerak ekonomi daerah dan instrumen penguatan identitas budaya lokal.
Namun jika diserahkan pada logika kekuasaan, maka pariwisata hanya akan menjadi simbol eksklusivitas yang mengasingkan rakyat dari tanahnya sendiri.
Mari kita jaga agar destinasi-destinasi indah seperti Ekas tidak menjadi korban ambisi politik, tetapi menjadi cermin dari pariwisata berkeadilan sosial.
***
*) Oleh : I Wayan Bratayasa, Dosen Pariwisata Sekolah Tinggi Pariwisata Mataram.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |