https://mataram.times.co.id/
Forum Mahasiswa

Saat Pendidikan Gagal menjadi Benteng Moral?

Sabtu, 02 Agustus 2025 - 18:11
Saat Pendidikan Gagal menjadi Benteng Moral? Muhammad Ridho Rezkita, Mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional Universitas Mataram.

TIMES MATARAM, MATARAM – Beberapa waktu ke belakang beranda media sosial kita diramaikan dengan berbagai kasus tindak pelecehan seksual. Ini memang bukan isu baru dan seharusnya tidak menjadi suatu hal mengejutkan. 

Saya sendiri sadar bahwa mengangkat kembali pembahasan mengenai isu ini terasa sedikit “basi”. Namun tetap saja, topik ini akan terus relevan dan tak dapat dihindari. 

Dalam konteks ini, premis yang kita ajukan seyogyanya bukan lagi tentang seberapa parah dampaknya, melainkan tentang siapa yang menjadi pelakunya.

Kita sering kali tumbuh dengan asumsi bahwa pendidikan adalah benteng moral. Bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin tinggi pula kesadarannya tentang benar dan salah. 

Berangkat dari pernyataan tersebut, saya semakin percaya bahwa sebagian besar masyarakat mengenal pelecehan seksual sebagai sebuah fenomena yang umum terjadi pada masyarakat kelas bawah atau miskin. Sehingga, ketika konstruksi sosial tersebut diamini sebagai stigma, maka individu-individu yang berasal dari kalangan bawah secara tidak langsung akan cepat dilabeli “tidak bermoral”. 

Tindak pelecehan seksual pun pada akhirnya dipahami sebagai hal normal pada kelas tersebut. Normal di sini bukan berarti boleh, melainkan lebih kepada pengakuan atas rendahnya kualitas pendidikan dalam mempromosikan nilai moral yang dianggap modern dan diterima.

Akan tetapi, yang lebih menggangu adalah ketika fenomena ini terjadi pada kalangan atas. Bukan karena kejahatannya, tetapi bagaimana masyarakat dan hukum memandangnya. Jika pelakunya merupakan pejabat atau orang berpendidikan, narasi yang muncul justru cenderung meredam. 

Kasusnya sering kali dinegosiasikan, diplintir, atau bahkan ditutupi dengan berbagai pembenaran. Dengan demikian, tak heran jika keyakinan bahwa pendidikan adalah benteng moral seolah-olah runtuh. 

Kita lupa bahwa moral bukan milik kelas sosial tertentu. Di banyak desa dan komunitas yang dianggap “kolot”, nilai-nilai kesopanan dan penghormatan pada sesama masih dijaga ketat, meskipun mereka kemungkinan tidak terpapar pendidikan formal. 

Di sisi lain, tidak sedikit dari mereka yang hidup di kota besar di bawah gemerlap institusi dan gelar akademik, justru kehilangan rasa malu dan batas etika.

Ini bukan berarti pendidikan tidak penting. Namun, kita perlu mengakui bahwa ada krisis dalam bagaimana pendidikan dipraktikkan dan dihayati. Pendidikan seharusnya menumbuhkan kesadaran, bukan sekadar menjejalkan ilmu. Seharusnya membentuk karakter, bukan hanya mencetak gelar. Tanpa integritas, ijazah pada akhirnya hanyalah sebuah kertas.

Kasus pelecehan seksual yang menyeret nama-nama bergelar pada beberapa waktu lalu adalah cerminan gagalnya sistem pendidikan dalam menanamkan nilai kemanusiaan. Bukan karena pendidikannya, namun mereka yang katanya telah belajar banyak hal tampaknya lupa belajar menjadi manusia. 

Maka, tak etis rasanya jika orang-orang harus terus merasa lebih tinggi dari mereka yang hidup dalam kelas yang mereka sebut bawah dan rendah itu. Terkadang, kelompok sosial subordinat justru lebih menjunjung tinggi keajegan nilai-nilai moral.

Sudah saatnya kita berhenti memandang moralitas berdasarkan apa yang dikenakan seseorang, di mana dia belajar, atau seberapa tinggi status sosialnya. Moral bukan melulu tentang seragam beratribut lengkap, toga, stetoskop, atau baju kurung. Moral adalah soal bagaimana kita memperlakukan orang lain ketika tidak ada yang melihat. 

Pendidikan harus kembali ke akarnya: membentuk manusia seutuhnya, bukan hanya mencetak pekerja, birokrat, atau pemimpin tanpa empati. Dan kita, sebagai masyarakat, juga perlu berhenti menormalisasi kejahatan berdasarkan kelas atau kalangan dari mana para pelaku berasal. Oleh karena pelecehan seksual bisa dilakukan siapa saja, maka perlawanannya pun harus dilakukan oleh semua.

***

*) Oleh : Muhammad Ridho Rezkita, Mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional Universitas Mataram.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Mataram just now

Welcome to TIMES Mataram

TIMES Mataram is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.