TIMES MATARAM, MATARAM – Kuasa hukum properti vila bermasalah di kawasan Senggigi, Kecamatan Batulayar, Lombok Barat, Eva Lestari, S.H. C.M.H, mendapatkan ancaman dari oknum penyidik Polda NTB. Lontaran ancaman ini disampaikan via langsung dan via chat WhatsApp.
"Saya bersama klien saya mendapatkan ancaman dari oknum penyidik Polda NTB atas permasalahan vila yang dibeli oleh klien. Posisi saya di sini membela klien saya yang menjadi korban transaksi jual beli vila," ungkapnya, Kamis (24/7/2025)
Eva mengungkapkan lebih jauh, adanya dugaan intimidasi dan ancaman pelaporan pidana oleh oknum penyidik Polda NTB, hanya karena ia menjalankan tugas profesinya melalui gugatan perdata di Pengadilan Negeri Mataram.
Gugatan tersebut berlandaskan pada fakta bahwa tanah tempat vila berdiri telah dibatalkan sertifikatnya oleh BPN, karena terkait skema nominee dan penggunaan nama WNA dalam proses jual beli—dua hal yang jelas dilarang dalam hukum agraria Indonesia (UU No. 5 Tahun 1960).
“Saya hanya membela hak hukum klien saya yang dirugikan hampir Rp 5 miliar. Semua proses kami tempuh sah di pengadilan, lengkap dengan dokumen legal seperti SK pembatalan sertifikat dari Kanwil BPN NTB, serta bukti pembayaran lunas melalui AJB," jelasnya.
Namun, alih-alih dihormati sebagai proses hukum yang wajar dalam negara hukum, justru Eva dan kliennya mendapatkan tekanan. Bahkan, ancaman pidana juga ditujukan kepada kliennya karena menolak menyerahkan vila kepada pihak lain yang hanya mengantongi PIJB dan surat kuasa dari seorang WNA.
Eva menegaskan bahwa tindakan intimidatif tersebut tidak hanya merupakan serangan pribadi, tetapi ancaman terhadap independensi advokat sebagai penegak hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU No. 18 Tahun 2003:
“Advokat tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Jika advokat digertak karena menggugat secara sah, ini bukan hanya pelanggaran hukum, tapi ancaman terhadap demokrasi hukum,” tegasnya mahasiswa S2 Ilmu Hukum Universitas Mataram ini.
Fakta Kunci yang Perlu Diketahui Publik
Klien Eva membeli vila dari M melalui AJB dan telah menguasai fisik vila secara sah dan membayar lunas. Sertifikat vila memang dibatalkan BPN, namun itu diketahui setelah transaksi sah dilakukan, Properti telah disewakan oleh klien saya dan dalam posisi dikuasai secara legal.
KS pihak yang kini menuntut vila, hanya mengantongi PIJB dan kuasa dari WNA, yang tidak sah menurut hukum agraria nasional.
"Saya dan klien saya justru diancam pidana hanya karena menolak menyerahkan vila yang masih dalam proses sengketa hukum di pengadilan," bebernya.
“Kalau hal seperti ini dibiarkan, siapa pun bisa diusir dari rumahnya hanya karena ada pihak yang mengklaim sepihak dengan surat kuasa. Padahal, tidak ada putusan pengadilan yang menyatakan kepemilikan mereka sah,” sambungnya.
Eva menyebut bahwa tindakan oknum penyidik yang mengancam proses hukum perdata yang sedang berjalan bisa tergolong sebagai obstruction of justice dan abuse of power.
“Kalau aparat justru menekan dan menggagalkan proses hukum yang sah, itu bukan penegakan hukum, tapi penyalahgunaan kekuasaan,” tegasnya.
Saat ini Eva sedang mempertimbangkan langkah-langkah lanjutan, termasuk mengajukan laporan ke DEPA-RI (Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia), dan organisasi profesi advokat lainnya. Melaporkan intimidasi ini juga ke Propam POLDA NTB, Komnas HAM, dan LPSK jika eskalasi ancaman terus meningkat.
Eva mengajak semua advokat di Indonesia untuk tidak tunduk pada praktik-praktik intimidatif yang mengancam independensi profesi hukum.
“Kalau kita takut membela kebenaran hanya karena tekanan dari oknum aparat, maka profesi kita akan kehilangan marwah. Saya tidak akan mundur, karena saya tidak melanggar hukum, saya membela hukum,” tegasnya lagi pengurus DEPA-RI NTB ini.
Menutup keterangannya, Eva mengingatkan bahwa kritik terhadap oknum bukan serangan terhadap institusi. Bahkan dalam praktiknya, ia kerap berusaha menjaga kepercayaan masyarakat terhadap aparat kepolisian.
Sebagai praktisi hukum, Eva tetap mengedepankan edukasi hukum kepada masyarakat. Ia mengajak institusi hukum harus membuka mata dan telinga bahwa kondisi saat ini sedang menjadi sorotan dari masyarakat. Justru menjadi momentum membenahi diri dan institusi hukum dalam melayani masyarakat, bukan sebaliknya dan seenaknya melontarkan ancaman.
"Kita harus tahu diri bagaimana capeknya berusaha selalu mengedukasi masyarakat khususnya semua klien saya bahwa sistem hukum kita baik, dan tegak lurus. Jika ada penyimpangan itu hanya oknum dan segera laporkan, kerja semua aparat khususnya polisi punya tugas berat," imbuhnya.
Namun, bila ada oknum yang mencoreng, harus ditindak. Karena semua penegak hukum, yaitu polisi, jaksa, hakim, dan pengacara. Semua profesi ini ada karena rakyat dan bekerja untuk rakyat.
"Jadi, janganlah merusak apa yang sudah saya usahakan untuk diperbaiki walaupun usaha yang saya lakukan itu kecil, tapi saya yakin itu bisa memperbaiki citra dan mengembalikan nama baik kita semua sebagai penegak hukum," tutupnya founder EL-LAW Office. (*)
Pewarta | : Hery Mahardika |
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |